Setiap dari kita punya cara untuk berfikir yang unik dan cenderung berbeda-beda.
Ada yang selalu pakek logika dan ada juga yang selalu pakek perasaan. Ada yang terlalu optimis, ada juga yang terlalu pesimis. Suka berfikir jangka pendek, juga ada yang terlalu berfikir jangka panjang.
Mengedepankan ego adalah jalan ninjaku, dan terlalu memikirkan perasaan orang lain justru menyakitkanku. Dan masih banyak lagi cara unik dalam berfikir dan menuangkan ide. Karena manusia diciptakan berbeda-beda, sekalipun mereka terlahir kembar. Ya nggak?
Berbeda pemikiran juga cara pandang dalam melihat permasalahan itu wajar, tetapi kita harus sadar kalau kita berbeda-beda.
Bayangkan kita lagi diskusi dengan lawan bicara yang lebih mengedepankan prinsip “Dah, jalanin aja”. Berbeda 180 derajat dengan kita yang mungkin lebih sifat pemikir. Semua dipikirkan dari A sampe Z-nya. Tentunya diskusinya bakalan lebih seru, dan mungkin sedikit mencengangkan kalau masing-masing terlalu terbawa ego.
Tadinya niatnya pengen bener, ternyata jadi salah.
Sekali lagi, kita harus sadar kalau kita berbeda. Ya sukur sukur bisa mencoba lebih ngerti satu sama lain. Kalau satunya pemikir, ya hargai dulu saya dia berfikir. Kalau satunya si nggak ambil pusing, ya hargai juga cara dia bersikap.
Tapi, semua harus dikomunikasikan.
Sadar nggak sadar, kadang kita punya pemikiran sendiri dan enggak mau coba dikomunikasikan dengan alasan “Aku nggak mau ngrepotin dia, nanti dia jadi tambah kepikiran.”
Ternyata selang beberapa lama, malah jadi lebih kepikiran karena yang ternyata salah langkah. Niatnya mau bener, ternyata jadi salah.
Misalnya gini,
Ada seorang pasangan suami istri, yang diketahui sang ayah punya hutang 10 juta. Sang ayah ini enggak mau bikin istrinya pusing dan ikut kepikiran yang akhirnya nggak mau dikomunikasikan. Sang ayah punya pemikiran sendiri “Dah lah, saya pendem sendiri ketimbang dia tambah kepikiran malah stress.” Kalimat “Ketimbang dia kepikiran malah stress”,adalah pemikiran sang ayah yang sebenernya belum pernah diungkapkan ke istrinya.
Dan yang terjadi apa? akan banyak timbul masalah baru. Ketika sang ayah stress dikit karena udah ditagih utang tapi belum bisa bayar, yang kena marah siapa? justru istri dan anaknya. Ya kalau cuman sekali, nah kalau uda berkali-kali gimana? hayoo.
Kurang lebih itu yang saya maksud “Ternyata jadi salah”. Kita biasa mengambil keputusan berdasarkan pemikiran kita sendiri, dan lupa bahwa masing-masing dari kita punya pemikiran berbeda.
Ketika ada permasalahan yang melibatkan orang lain, baiknya tetap harus didiskusikan.
Mungkin kita niatnya baik, nggak mau ngerepotin ataupun bikin sedih. Tapi, pikirkan juga seandainya keputusan itu salah. Pikirkan juga gimana kalau hasilnya malah justru tambah bikin repot dan tambah bikin sedih.
Cara yang kita anggap benar, belum tentu benar menurut orang lain. Cara yang kita anggap salah, juga belum tentu salah menurut orang lain.
Perasaan yang niatnya membahagiakan, bisa jadi malah merusak kebahagiaan.
Ah nggak mau ngomong sama ibu, nanti takut dimarahin. Ehh malah bikin ibu nangis tersendu-sendu.
Ah nggak mau ngomong sama istri, nanti dia bakalan stress. Ehh malah akhirnya bikin depresi.
Ah nggak mau ngomong sama atasan, nanti saya disalahin. Ehh malah akhirnya semua divisi di kantor yang kena marah.
Kita harus tau, kapan harus dipendem sendiri dan kapan harus dibicarakan. Walaupun alangkah lebih baiknya dibicarakan seandainya itu menyangkut pihak pihak lain. Jangan dipendem sendiri, karena pada dasarnya kita diciptakan untuk saling melengkapi bukan menyendiri.
*Nggak semua kasus harus dibacarakan, dan kita juga harus lihat dengan siapa kita bicara. Terkadang menyendiri ditengah malam sambil menangis dan berdoa, bisa jadi jalan lain yang menenangkan juga.