Saya pernah parkir di sebuah supermarket yang mana tertulis jelas “Parkir gratis”. Dan udah beberapa kali saya ke supermarket itu sebenernya. Tentu udah paham banget kalo parkir kendaraannya gratis.
Tapi anehnya, sempat sesekali waktu saya parkir di supermarket yang sama dan pas mau keluar dari supermarket, eh saya sibuk sendiri nyari uang receh buat bayar parkir karena ada satu kendaraan di depan saya yang keliatan lagi buka kaca mobilnya dan menjulurkan uang ke bapak tukang parkirnya.
Setelah saya sempat sibuk nyari receh, kakak saya ngomong “Parkir gratis kok gas”. Sontak saya ngerasa ‘eh iya, kan gratis ya. Lupa!’. Kejadian ini emang di supermarket yang sama, tapi tempatnya berbeda. Sama-sama superindo, tapi lokasinya beda dari tempat yang biasa saya datangi.
Kejadian itu bikin saya inget sama sebuah teori psikologi, bahwa ‘manusia cenderung mengikuti perilaku orang lain’ apalagi perilaku tersebut dilakuin banyak orang. Atau biasa disebut sebagai social proof. Kalo banyak orang yang ngelakuin, seakan itu jadi patokan ‘kebenaran’.
Saya pernah baca di buku The Art Of Thingking Clearly karya Rolf Dobelli. Ada satu kisah menarik ketika membahas soal ‘social proof ini’. Kalo seandainya dipersimpangan jalan ada banyak orang yang lagi liat ke langit, maka kita bakalan auto ngelakuin juga. Kalo seandainya kita lagi berburu di sebuah hutan di Afrika, ketika sebagian orang dari grup kita lari kenceng, kita juga bakalan ikut lari kenceng terus baru mikir ‘eh kenapa pada lari?’atau ‘eh ngapain saya lari ya?’ Ya nggak?.
Bahkan ada satu cerita ketika ada seseorang yang berada di ruangan sendirian terus dikasih soal tes, seseorang tersebut bisa yakin dan ngeliat lebih jelas mana yang bener dan yang salah. Tapi anehnya, ketika dalam satu ruangan tadi dimasuki 5 orang, yang mana masing-masing dari mereka sengaja menjawab ‘salah’ soal tes yang diberikan, seketika orang pertama yang tadinya yakin dan bisa ngeliat bahwa dirinya bener, malah jadi ragu sama jawabannya.
Inilah social proof. Sering banget kejadian di kehidupan kita. Kita condong untuk meniru perilaku orang lain, apalagi perilaku tersebut sudah dilakukan banyak orang. Dampak negatifnya, kita jadi tidak melihat dengan lebih jelas.
Kita takut berbeda dengan mereka, bahkan contoh di atas menunjukkan, bahwa kita bisa menjadi ragu atas pilihan yang sejatinya sudah kita yakini kebenarannya, hanya karena melihat orang lain yang berbeda dengan kita.
Jadi teringat dengan ayat di Qs. Al-An’am ayat 116
”Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, maka mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanyalah mengikuti dugaan mereka, dan sejatinya mereka tidak mengetahui.” Dalam tafsir muyassar dijelaskan, mereka hanya mengikuti perasaan mereka tanpa ilmu atasnya.
Balik lagi ke social proof, kalau kita ngikutin kebanyakaan orang yang melakukan sesuatu tanpa ilmu, maka kita akan terjerumus ke lubang yang salah, padahal sebelumnya bisa jadi kita ada di lubang yang benar.
Mencoba berpikir lebih tenang itu penting. Menjadi berbeda itu bukan berarti salah, karena patokan benar dan salah itu ditimbang dengan adanya ilmu.
Oh iya, social proof ini juga ada sisi positifnya juga. Semisal kita lagi pergi ke sebuah kota yang kita nggak tau dimana tempat makan yang recommended, kita bisa liat aja mana tempat makan yang rame dikunjungi orang. Dan sepengalaman saya, itu juga bekerja dengan baik.
Masyaallah. Persis, yang superindo saya ngalamin juga. Gara2 orang didepannya ngasih uang parkir juga. Hasy*m. Ternyata itu efek sosial proof. Disini saya dapet poin, terkadang kita ga yakin sama diri sendiri. Padahal udah benar. Kita sering ragu hanya gara2 melihat orang lain. Dan ini yang setiap hari kita saksikan. Inspiring tulisan pendeknya mas bagas rais. Salam kenal, terimakasih.