Heh kamu tu jangan kerja di bank, itu kan riba! Resign buruan!
Heh kamu kok pakek hijabnya masih yang hijab gaul sih? harusnya tu minimal yang menutupi dada!
Heh kamu uda dibilangin jangan pacaran, haram lhoh! Putusin sekarang! malah ngeyel!
Heh harusnya udah ngaji itu mulut dijaga, kok malah jadi keras sama orang tua!
Heh kamu tu udah gedhe, masak belum bisa baca qur’an? belajar sana lhoh!
“Eh, kok jadi terlalu meminta lebih sih? bukannya tanggung jawab kita cuman menyampaikan yaa?”
Meminta lebih yang saya maksud adalah lebih ke konotasi “MEMAKSA”.
Menyampaikan itu sekedar ngasih info atas apa yang kita yakini kebenarannya, kemudian kita salurkan informasi tersebut dan selesai. Nggak ada berharap untuk mendapatkan feedback lebih ketika pesan itu udah tersampaikan.
Ya berharap feedback positif itu wajar, tapi juga kita nggak bisa memaksakan untuk mendapatkan hal demikian. Kita nggak bisa meminta lebih. Kapasitas kita hanya sampai kata “Berharap dan semoga”.
Mungkin diantara kita pernah mendapati hal serupa. Meminta kakak kita untuk berhenti dari merokok, meminta ibu kita untuk memakai hijabnya, meminta ayah kita untuk selalu pergi ke masjid, ataupun meminta pasangan untuk menjadi sesuai yang kita inginkan.
Si suami minta istrinya pakai cadar, si istri minta suaminya tubuhnya six-pack, dan masih banyak contoh lain yang punya garis merah yang sama. Selalu meminta lebih.
Hal itu nggak salah, apalagi perihal agama. Justru peduli yang beneran peduli adalah mereka yang khawatir akan agama orang yang dicintainya.
Tapi ya semua butuh proses, sama seperti kita.
Banyak kasus seorang yang baru mempelajari agama lebih dalam, secara nggak sadar punya rasa “Sekarang aku yang paling bener”. Mungkin terdengar konyol kalau punya perasaan itu, tapi terdengar familiar jika kita sempatkan waktu untuk berkaca.
Ya memang seseorang cukup sulit untuk menilai dirinya sendiri. Apalagi menilai diri sendiri dengan nilai yang buruk. Mayoritas kita akan menilai dirinya ini udah oke.
Mungkin enggak semua seperti itu, saya yakin diantara temen temen yang baca ini ada juga yang bisa menilai dirinya kurang baik dan akhirnya setiap saat memperbaiki diri karena hal itu. Ya nggak? Atau masih ngerasa paling bener? ya nggakpapa, semua butuh proses.
Benang merah yang pengan saya sampaikan adalah, kita harus ingat bahwa setiap dari kita hanya seorang penyampai yang nggak bisa meminta lebih dari lawan bicara.
Ada satu ayat yang menurut saya bisa jadi titik temu sikap kebanyakan kita yang terlalu ikut campur dan senantiasa meminta lebih dengan alasan PEDULI.
قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kami kerjakan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kamu kerjakan.” ( Saba : 25 )
Maksud ayat ini adalah, yaudah sebenernya apa yang orang lain lakukan secara umum bukan tanggung jawab kita nantinya diakhirat. Jadi jangan terlalu banyak meminta dengan alasan PEDULI.
Mungkin terlihat egois, ya nggak? tapi kata egois itu lebih menggambarkan makna negatif, sedangkan sekelas Al Qur’an enggak mungkin ngasi makna se-negatif itu.
Gini, peduli itu harus apalagi sama orang terdekat kita. Peduli dengan agama kakak kita, ibu, ayah, sodara, adek, temen deket, dan semua kaum muslimin pada umumnya.
Tapi kita juga harus inget ayat barusan, bahwa nantinya semua akan dihisab sendiri sendiri.
Buat saya pribadi, ayat ini justru menjadi penengah yang sangat jelas ketika kebanyakan dari kita selalu meminta lebih seperti yang udah saya tulis di awal. Meminta sodara untuk keluar dari bank, meminta ibu kita untuk berhijab, meminta ayah kita untuk senantiasa mendatangi masjid, meminta sohib kita untuk menjauhi pacaran, dan yang semisal.
Ya jangan samakan mereka yang mungkin hidayah belum sampai. Mungkin hidayah dengan ijin Allah udah sampek ke diri kita, dan itu anugrah yang luar biasa besar.
Tapi ya jangan dipukul rata untuk semua orang.
Sekali lagi, nantinya hisabnya sendiri sendiri. Ketika mereka berbuat kemungkaranpun, ya kitanya enggak dapet dosanya kalau emang kitanya nggak ikutan. “Kita nggak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang oranglain lakukan”.
Justru dengan memikirkan dan mengamalkan ayat barusan, kita bisa jadi lebih rilek ketika berdakwah. Kita enggak kaku, kita enggak memaksakan kehendak orang lain, dan kita justru bisa membaur dengan lebih santai.
Kita enggak sering meminta lebih ketika menyampaikan kebenaran, karena diterima atau enggak itu ya urusan orang lain. Hidayah mau gimanapun atas kehendak Allah, bukan kehendak kita.
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Al Qashah : 56)
Semoga kita bisa mulai pelan pelan untuk enggak meminta lebih kepada orang lain.
Tugas kita hanya mendoakan, dan menyampaikan. Dan tentunya berharap feedback positif.
Hingga pada akhirnya, harapan kita tercapai perlahan dengan ijin Allah. Menjadi wasilah hidayah untuk mereka yang berada di sekitar kita. Justru dengan cara enggak meminta lebih, sabar menyampaikan dan mendoakan, insyaAllah dakwah bakalana lebih nyampek.
wallahu a’lam
Alhamdulillah, 🌺 Hari ini kenak tamparan keras lagi,lebih banyak banyak berkaca diri sendiri dibanding kekhawatiran yg gak jelas terjadi pada seseorang,padahal memang kita diciptakan hanyak saling mengingatkan gak lebih gak kurang,🌧️
Jazakallahu khayran ustadz
Masyaallah, artikel relate ama yg ana alami :’ )