Ketika kita minjemin duit ke temen kita, kemudian suatu saat kita minta bantuan malah dianya enggak mau. Terlihat enggak punya rasa terima kasih, Ya jangan kaget.
Ketika seorang ibu yang mengasuh anaknya dari dikandungan hingga dewasa, kemudian qodarullah si anak malah jarang bantuin ibunya dan lebih sibuk sama dunianya, seperti anak yang nggak tau terimakasih. Ya jangan kaget.
Ketika seorang guru yang mengajari muridnya dengan harapan muridnya jadi lebih pinter, meskipun terkadang tidak mendapatkan upah atas hasil mengajarnya, tetapi ketika muridnya sudah selesai dan mulai kehidupan barunya, ee malah sang guru dilupain gitu aja. Ya jangan kaget juga
Ketika sang suami yang sudah banting tulang untuk menafkahi keluarganya, kemudian sesekali atau seringnya istrinya kurang bisa memahami dan kurang bisa menghargai jerih payahnya. Terasa seperti istri yang tidak berbakti dan tidak tau rasa terimakasih. Ya udah, jangan kaget.
Hal hal demikian seharusnya bukan jadi hal baru yang perlu diperdebatkan. Karena mayoritas manusia memang nggak tau rasa terimakasih. Ketika kita justru mencarinya, maka hati akan semakin terasa sempit. Pikiran mudah terserang penyakit strees karena banyak memikirkan hal hal yang menyakitkan hati.
BTW, bukannya kita sendiripun juga gitu? Nggak tau rasa terimakasih?
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (Saba : 13)
Kita sendiri aja banyak enggak bersyukur sama Allah.
Dzat yang senantiasa menyayangi kita, melindungi kita, bahkan senantiasa memberikan rizqi kepada kita. Ya berupa uang, ya makanan minuman, ya anggota badan, ya oksigen, ya ilmu, ya ribuan sel yang hidup di otak kita, ya semuanya lah.
Tapi ya kita banyak yang nggak bersyukur.
Ngeluarin harta buat sekedar infak ke guru agama kita aja pelit.
Ngeluarin harta buat jengukin orang tua kita aja selalu pikir-pikir.
Dateng ke majelis ilmu aja banyak alesan, yang katanya sibuklah, hujanlah, panaslah, dan ribuan alasan lainnya.
Sholat tarawih milih yang paling paling cepet, sampek rukun sholatnya (tuma’ninah) dilupakan.
Apa lagi ya? nggak bisa dihitung si seharunsya. Karena Nikmat Allah itu tak terhitung, kurang lebih begitulah kita. Banyak sekali hal yang kita lupa bersyukur atas hal itu.
Malah seringnya merasa kalau apa yang terjadi sekarang karena diri kita, karena usaha kita, karena lamanya waktu kita belajar, karena gigihnya kita untuk mempelajarinya, teruuuus gitu. Sampek lupa bahwa Allah-lah yang memudahkan semua urusan kita.
Balik lagi, jadi ya enggak usah kaget.
Ketika perbuatan baik kita kepada orang lain nggak dapet balesan yang sesuai effort, ya jangan kaget.
Karena kitapun juga demikian, banyak enggak bersyukur sama yang telah memberi semuanya kepada kita.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar rahman : 13)
Ini bukan ayat ketika kita dapet sesuatu hal yang menyenangkan, bukan.
Ayat ini justru mengatakan kepada kita “NIKMAT MANA LAGI YANG KAMU DUSTAKAN?”
karena saking banyaknya nikmat yang kita dustakan.
Intinya Jangat Kaget. Justru melalui tulisan ini, seharusnya kita lebih sadar (terkhusus saya sendiri). Bahwa ketika kita masih berharap balasan dari manusia, itu artinya kita belum ikhlas melakukan amal sholeh. Dan ketika berharap kepada manusia, bersiaplah untuk merasakan sakit hati.
Yaa raabb, ampuni kami. Jadikanlah kami termasuk hambamu yang bersyukur. Aamiinn
Astagfirullah 😐
Makasih kak nasihatnya,ana pribadi sering banget mendahulukan teman dibanding keluarga🌧️ jazakallahu khayran,semoga Allah membalas kebaikan kakk.